AYAT-AYAT AL-QURAN TENTANG
MANUSIA
I. PENDAHULUAN
a.
Latar
Belakang
Allah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sangat kompleks sekali, terbukti dengan
beratus bahkan beribu-ribu syaraf dan organ yang ada di dalam tubuh manusia. Manusia
yang tercipta dari tanah itu pun yang kemudian menjadi pemimpin di bumi. Bahkan
sebagai makhluk terbaik (dalam penciptaannya) dibanding makhluk yang lain
seperti hewan, jin bahkan malaikat sekalipun. Apakah benar adanya?
Untuk itu dalam
makalah ini akan kami kaji dan paparkan dari berbagai tafsiran ayat-ayat Al-Quran
mengenai masAlah-masAlah yang berhubungan dengan manusia.
b.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
di atas, kami dapat merumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Jelaskan
penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan posisi manusia sebagai puncak
ciptaan Tuhan di antara makhluk-makhluk sosial lain!
2.
Jelaskan
penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan struktur potensi manusia: jasadiyah dan ruhiyah!
3.
Jelaskan
penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan misi manusia sebagai khalifah Allah
di muka bumi!
4.
Jelaskan
penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehubungan dengan sikap seorang khalifah Allah di
bumi!
II. PEMBAHASAN
1. Posisi
Manusia sebagai Puncak Ciptaan Tuhan di antara Makhluk-makhluk Lain
QS At-Tin: 4-5 dan QS. Al-Isra’: 70
QS. Al-Tin: 4-5
ôs)s9
$uZø)n=y{
z`»|¡SM}$#
þÎû
Ç`|¡ômr&
5OÈqø)s?
ÇÍÈ ¢OèO
çm»tR÷yu
@xÿór&
tû,Î#Ïÿ»y
ÇÎÈ
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya
(neraka),[1]”[2]
Kata (خلقنا
)
khalqna/ Kami telah menciptakan terdiri atas kata (خلق) khalaqa dan (نا) yang berfungsi sebagai kata ganti nama. Karena na (Kami)
yang menjadi kata ganti nama itu bisa juga digunakan untuk menunjuk satu pelaku
saja dengan maksud mengagunggkan pelaku tersebut. Para raja biasa menunjuk
dirinya dengan menggunakan kata “kami”. Allah juga sering kali menggunakan kata
tersebut untuk menunjuk diri-Nya. Dari sisi lain, penggunaan kata ganti jamak itu
(Kami) yang menunjuk kepada Allah mengisyaratkan adanya keterlibatan selain-Nya
dalam perbuatan yang ditunjuk oleh kata yang dirangkaikan dengan kata tersebut.
Jadi, kata khalaqna mengisyaratkan keterlibatan selain Allah dalam
penciptaan manusia. Dalam hal ini adalah ibu bapak manusia. Di tempat lain Allah
menegaskan bahwa Dia adalah ahsan Al Khaliqin/sebaik-baik Pencipta (QS.
Al- Mu’minun [23]:14). Ini menunjukkan bahwa ada pencipta lain, namun tidak sebaik
Allah. Peranan yang lain itu sebagai “pencipta” sama sekali tidak seperti Allah,
melainkan sebagai alat atau perantara.
Kata (الانسان)
Al-insan/manusia yang dimaksud oleh ayat ini, menurut Al-Qurthubi adalah
banyak manusia-manusia yang durhaka pada Allah. Pendapat ini ditolak oleh banyak
pakar tafsir dengan alasan antara lain adanya pengecualian yang ditegaskan oleh
ayat berikut yaitu, kecuali orang-orang yang beriman. Ini menunjukkan bahwa
“manusia” yang dimaksud oleh ayat ini adalah jenis manusia secara umum, mencakup
yang mukmin maupun yang kafir. Bahkan Bint asy-Syathi’ merumuskan bahwa semua kata
Al-insan dalam Al-Qur’an yang berbentuk definit yaitu dengan menggunakan
kata sandang Al
berarti menegaskan jenis manusia secara umum, mencakup siapa saja.
Kata ( تقويم) taqwiim barakar dari kata ( قوم) qawama, yang darinya terbentuk kata qaa’imah,
istiqomah, aqimu dan sebagainya, yang keseluruhannya menggambarkan
kesempurnaan sesuatu sesuai dengan objeknya. Kata ( اقيموا) aqimu yang digunakan untuk perintah
melakasanakan shalat, berarti bahwa shalat harus dilaksanakan secara sempurna
sesuai dengan syarat, rukun, dan sunnah-sunnahnya.
Kata taqwim diartikan sebagai menjadikan
sesuatu memiliki (qowama) qiwam yakni bentuk fisik yang pas dengan
fungsinya. Ar Raghib Al-Ashfahani, pakar bahasa Al-Qur’an, memandang kata taqwim di sini sebagai isyarat keistimewaaan
manusia disbanding binatang, yaitu akal, pemahaman, dan bentuk fisiknya yang
tegak dan lurus. Jadi, kalimat ahsan
taqwim berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, yang menyebabkan
manusia dapat melaksanakan fungsinya sebaik mungkin. Jika demikian, tidaklah
tepat memahami ungkapan sebaik-baik bentuk terbatas dalam pengertian
fisik semata-mata. Ayat ini dikemukakan dalam konteks penggambaran anugerah Allah
kepada manusia, dan tentu tidak mungkin anugerah tersebut terbatas pada bentuk
fisik. Apalagi secara tegas Allah mengecam orang-orang yang bentuk fisiknya baik,
namun jiwa dan akalnya kosong dari nilai-nilai agama, etika, dan pengetahuan.
Kata رددنهradadnahu terdiri
atas kata ردد radada yang dirangkaikan
dengan kata ganti dlam bentuk jamak na serta kata ganti yang berkedudukan
sebagai objek hu. Rodada antara lain berarti mengalihkan, memalingkan,
atau mengembalikan. Keseluruhan makna tersebut dapat disimpulkan sebagai
“perubahan keadaan sesuatu seperti keadaan sebelumnya.” Atas dasar ini, kata
tersebut dapat pula diartikan “menjadikannya kembali.”
Manusia
yang telah diciptakan Allah dalam bentuk yang sebaik-baiknya karena satu dan lain
hal sehingga kemudian kami Allah bersama dengan manusia itu sendiri mengembalikannya
ke tingkat yang serendah-rendahnya.
Mengenai makna dari kalimat (اسفل سفلين ) asfala safilin, para ahli tafsir
mengemukakan dalam tiga pendapat, yaitu:
Pertama, keadaan kelemahan fisik
dan psikis di saat tuanya, seperti di kala ia masih bayi. Pendapat ini ditolak
oleh sementara pakar berhubung adanya pengecualian pada ayat berikut:
karena orang
beriman pun dapat mengalami keadaan serupa. Makna ini dapat diterima jika kata الاilla diterjemahkan tetapi
bukan kecuali.
Kedua, neraka dan kesengsaraan.
Pendapat ini pun disoroti dengan suatu pertanyaan, yaitu, apakah sebelum ini manusia
pernah berada di sana? Kalau tidak - dan memang tidak, maka mengapa dikatakan
“Kami mengembalikannya?” pendapat ini dapat diterima jika kata radadnahu dipahami
dalam arti mengalihkannya atau menjadikannya.
Ketiga, keadaan ketika ruh Ilahi
belum lagi menyatu dengan diri manusia. Pendapat inilah yang dianggap lebih tepat.
Manusia mencapai tingkat yang
setinggi-tingginya (ahsan taqwim) apabila terjadi perpaduan yang seimbang
antara kebutuhan jasmani dan ruhani, antara kebutuhan fisik dan jiwa. Tetapi, apabila
ia hanya memperhatikan dan melayani kebutuhan-kebutuhan jasmaninya saja, maka ia
akan kembali atau dikembalikan kepada proses awal kejadiannya, sebelum ruh Ilahi
itu menyentuh fisiknya, ia kembali ke asfala safilin.[3]
Munasabah ayat di atas
(antar ayat) adalah:
QS.
Al-Tin: 6
wÎ)
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qè=ÏHxåur
ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
óOßgn=sù
íô_r&
çöxî
5bqãYøÿxE
ÇÏÈ
Artinya: “kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi
mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
Setelah Allah bersumpah dengan menyebut empat hal –sebagaimana terbaca
pada ayat-ayat yang lalu, ayat-ayat di atas menjelaskan untuk sumpah itu. Di
sini Allah berfirman bahwa: “Demi keempat hal di atas, sungguh Kami telah
menciptakan manusia dAlam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Firman-Nya bahwa manusia diciptakan
dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, tidak harus dipahami bahwa manusia
adalah semulia-mulia makhluk Allah. Ini bukan saja karena di tempat lain manusia
hanya dilukiskan:
QS.
Al-Isra 70
*
ôs)s9ur
$oYøB§x.
ûÓÍ_t/
tPy#uä
öNßg»oYù=uHxqur
Îû
Îhy9ø9$#
Ìóst7ø9$#ur
Nßg»oYø%yuur
ÆÏiB
ÏM»t7Íh©Ü9$#
óOßg»uZù=Òsùur
4n?tã
9ÏV2
ô`£JÏiB
$oYø)n=yz
WxÅÒøÿs?
ÇÐÉÈ
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik
dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk
yang telah Kami ciptakan.”
Dengan
bersumpah sambil mengukuhkan pernyataannya-Nya dengan kata (قد) qad, ayat ini menyatakan
bahwa dan Kami, yakni Allah bersumpah bahwa sesungguhnya telah kami
muliakan anak cucu Adam, dengan bentuk tubuh yang bagus, kemampuan berbicara
dan berpikir, serta berpengetahuan dan Kami beri juga mereka kebebasan memilah
dan memilih. Dan kami angkut mereka dari daratan dan di lautan dengan aneka
alat transportasi yang Kami ciptakan dan tundukkan bagi mereka, atau yang Kami
ilhami mereka pembuatannya, agar mereka dapat menjelajahi bumi dan angkasa yang
kesemuanya Kami ciptakan untuk mereka.
Dan
Kami beri juga mereka rezeki dari yang baik-baik sesuai
kebutuhan mereka, lagi lezat dan bermanfaat untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan
jiwa mereka dan Kami lebihkan mereka atas banyak makhluk dari siapa yang
telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna. Kami lebihkan mereka dari
hewan, dengan alat dan daya cipta sehingga menjadi makhluk yang bertanggung jawab.
Kami lebihkan yang taat dari mereka atas malaikat atas ketaatan manusia melalui
perjuangan melawan setan dan nafsu, sedang ketaatan malaikat tanpa tantangan.
Kata
(كرّمنا) terambil dari akar kata yang
terdiri dari huruf kaf, ra’, dan mim, yang mengandung makna kemuliaan,
serta keistimewaan sesuai objeknya.
Terdapat
perbedaan antara (فضّلنا) dan (كرّمنا). Yang pertama terambil dari kata (فضل) yakni kelebihan,
dan ini mengacu pada penambahan dari apa yang sebelumnya telah dimiliki secara
sama oleh orang-orang lain. Yang kedua yaitu كرّمنا maka seperti dikemukakan di atas
ia adalah anugerah yang bersifat internal dalam konteks ayat ini, manusia dianugerahi
Allah keistimewaan yang tidak dianugerahkan-Nya kepada selainnya dan itulah yang
menjadikan manusia mulia serta harus dihormati dalam kedudukannya sebagai manusia.
فضلناهم على
كثيرممن خلقنا (Faddalnaa hum ‘Ala katsiriin mimman kholaqna).
Pertama, penggalan ayat
ini tidak menyatakan bahwa Allah melebihkan manusia atas semua ciptaan atau kebanyakan
ciptaan-Nya, tetapi banyak di antara ciptaan-Nya. Atas dasar itu sungguh ayat
ini tidak dapat dijadikan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia.
Kedua, ayat di atas
mengisyaratkan bahwa kelebihan itu dibanding dengan ciptaan Allah dari siapa
yang telah diciptakan-Nya. Kata dari siapa merupakan terjemahan
dari lafad mimman yang terdiri dari kata min dan man. Kata
man biasanya ditujukan untuk makhluk yang berakal. Di satu sisi
kita dapat berkata bahwa jika Allah melebihkan manusia atas banyak makhluk berakal,
maka tentu saja lebih-lebih lagi makhluk tidak berakal. Di sisi lain kita
juga dapat berkata bahwa paling tidak ada dua makhluk berakal yang diperkenalkan
Al-Quran yaitu jin dan malaikat. Ini berarti manusia berpotensi untuk mempunyai
kelebihan dibanding dengan banyak -bukan semua- jin dan malaikat . Tentu saja manusia-manusia
yang taat.
QS.
Asy-syams:
7
<§øÿtRur $tBur
$yg1§qy
ÇÐÈ
Artinya:
“dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya),”
QS.
Asy-syams 8-10
$ygyJolù;r'sù
$yduqègéú
$yg1uqø)s?ur
ÇÑÈ ôs%
yxn=øùr&
`tB
$yg8©.y
ÇÒÈ ôs%ur
z>%s{
`tB
$yg9¢y
ÇÊÉÈ
Artinya:
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan
dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Keempat ayat
ini, ditambah dengan ayat surah Al-Balad ayat 10, “Dan Kami telah menunjukkannya
dua jalan”, dan surat Al-Insaan ayat 3, “Sesungguhnya Kami telah
menunjukkan jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir….”,
semuanya melukiskan kaidah teori kejiwaan dalam Islam. Ayat ini berhubungan dan
melengkapi ayat-ayat yang mengisyaratkan kompleksitas tabiat manusia, seperti
firman Allah dalam surat Shaad ayat 71-72, “(Ingatlah) ketika Tuhanmu
berfirman kepada malaikat, ‘Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.
Apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku,
maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.’”
Sesungguhnya manusia
ini adalah makhluk yang memiliki tabiat, potensi, dan arah yang kompleks. Dan yang
kami maksudkan dengan kata “kompleks” itu adalah dalam batasan bahwa
dengan tabiat penciptaannya (yang merupakan campuran antara tanah dari bumi dan
peniupan ruh ciptaan Allah padanya), maka ia dibekali dengan potensi-potensi yang
sama untuk berbuat baik atau buruk, mengikuti petunjuk atau kesesatan. Ia mampu
membedakan antara yang baik dan yang buruk, sebagaimana ia juga mampu untuk
mengarahkan jiwanya kepada kebaikan atau keburukan. Kemampuan ini terkandung dan
tersembunyi di dalam wujudnya, yang sekali waktu diungkapkan oleh Al Qur’an
dengan ilham,
Di samping
potensi-potensi fitrah yang tersembunyi ini, terdapat kekuatan pemikir dan pengarah
di dalam diri manusia. Kekuatan inilah yang menjadi titik tekan pertanggungjawaban.
Maka, barang siapa mempergunakan kekuatan ini untuk menyucikan dan membersihkan
dirinya serta mengembangkan potensi kebaikannya dan mengalahkan potensi kejelekannya,
niscaya dia akan beruntung. Barang siapa yang menganiaya kekuatan ini dan
menyembunyikannya serta melemahkannya, niscaya dia akan merugi.
Dengan demikian,
di sana terdapat pertanggungjawaban atas diberinya manusia kekuatan pemikir yang
mampu untuk memilih dan mengarahkan potensi-potensi fitrah yang dapat berkembang
di ladang kebaikan dan ladang keburukan ini. Karena itu, jiwa manusia bebas tetapi
bertanggung jawab. Ia adalah kekuatan yang dibebani tugas, dan ia adalah karunia
yang dibebani kewajiban.
Demikianlah yang
dikehendaki Allah secara garis besar terhadap manusia. Segala sesuatu yang
sempurna dalam menjalankan peranannya, maka itu adalah implementasi kehendak Allah
dan qadar-Nya yang umum.
3. Misi
Manusia sebagai Khalifah Allah di Muka Bumi
QS.
Al-Baqarah: 29[5]
uqèd Ï%©!$#
Yn=y{
Nä3s9
$¨B
Îû
ÇÚöF{$#
$YèÏJy_
§NèO
#uqtGó$#
n<Î)
Ïä!$yJ¡¡9$#
£`ßg1§q|¡sù
yìö7y
;Nºuq»yJy
4 uqèdur
Èe@ä3Î/
>äóÓx«
×LìÎ=tæ
ÇËÒÈ
Artinya:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit.
Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
QS.
Al-Baqarah 30
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÏù `tB ßÅ¡øÿã $pkÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB w
tbqßJn=÷ès? [6]ÇÌÉÈ
Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."”
[7]ZpxÿÎ=yz - Khalifah :
Artinya jenis lain dari makhluk sebelumnya. Bisa juga diartikan sebagai pengganti
Allah untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya terhadap umat manusia.
Kandungan
ayat ini sama dengan ayat sebelumnya, yakni menjelaskan nikmat-nikmat Allah, yang
dengan nikmat itu dapat menjauhkan dari maksiat dan kufur, dan dapat memotivasi
seseorang untuk beriman kepada Allah. Diciptakannya Nabi Adam dalam bentuk
sedemikian rupa di samping kenikmatan memiliki ilmu dan berkuasa penuh untuk
mengatur Alam semesta serta berfungsi sebagai khalifah Allah di bumi, hal tersebut
merupakan nikmat yang paling agung dan harus disyukuri oleh keturunannya dengan
cara taat kepada Allah dan tidak ingkar kepada-Nya, termasuk menjauhi kemaksiatan
yang dilarang oleh Allah.
Pada
ayat ini dan sebelumnya juga menceritakan kisah-kisah tentang kejadian umat manusia.
Dalam penciptaan manusia itu mengandung hikmah dan rahasia yang diungkapkan dalam
bentuk dialog dan musyawarah sebelum melakukan penciptaan. Ayat ini termasuk ayat
mutasyabih (tidak mungkin hanya ditafsirkan
dengan makna zahir-nya saja). Sebab,
jika kita artikan Allah mengadakan musyawarah dengan hamba-Nya, diartikan
pemberitahuan Allah kepada para Malaikat, yang kemudian Malaikat mengadakan sanggahan
(bantahan). Pengertian seperti ini pun tidak bisa dinisbatkan kepada Allah maupun
Malaikat.
4. Sikap
Seorang Khalifah Allah di Muka Bumi
Dari cara manusia untuk dilahirkan di bumi sehingga
berkesempatan memiliki Alat berpikir dan bernalar serta peluang mendapat
pendidikan, tampaklah betapa pentingnya ada sistem kekeluargaan bagi manusia agar
bayi yang dihasilkan dari sel telur wanita dan nutfah pria dapat berkembang
menjadi manusia dewasa yang cerdas dan dapat bermasyarakat dengan baik. Hanya manusia
cerdas yang dapat bermasyarakat dengan baiklah yang mampu menjadi pewaris tuhan
Yang maha Kuasa di bumi.
QS. Huud: 61
*
4n<Î)ur yqßJrO öNèd%s{r& $[sÎ=»|¹ 4 tA$s% ÉQöqs)»t (#rßç6ôã$# ©!$# $tB /ä3s9 ô`ÏiB >m»s9Î) ¼çnçöxî ( uqèd Nä.r't±Rr& z`ÏiB ÇÚöF{$# óOä.tyJ÷ètGó$#ur $pkÏù çnrãÏÿøótFó$$sù ¢OèO (#þqç/qè? Ïmøs9Î) 4 ¨bÎ) În1u Ò=Ìs% Ò=ÅgC ÇÏÊÈ
Artinya: “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh
berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekAli-kAli tidak ada bagimu Tuhan
selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya,
Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."”
· هوانشاكم من
الارض واستعمركم فيها(Huwa an-sya-a kum minal ar-dhi was ta’marokum fihaa).
Allah menjadikan
kamu sebagai orang-orang yang memakmurkan bumi dengan cocok tanam, membangun dan
membina hingga terdapatlah di bumi itu rumah-rumah yang tinggi, yang dibuat
oleh tukang yang pandai-pandai. Allah menjadikan bumi dan pohon-pohon yang rindang
dan buah-buahan yang sedap dan lezat rasanya.
· فاستغفروه ثم
توبوا اليه(Fastagh-firuuhu tsumma tuubu ilaihi).
Maka mohonlah
kepada Allah supaya Dia mengampuni dosa-dosamu, kemudian bertobatlah kepada-Nya,
ketika tiap-tiap dari kamu mengerjakan sesuatu dosa dan beramallah dengan amalan
yang saleh.
· اناربى قريب
مجيب(Inna rabbi qariibum mujiib).
Tuhanku itu Maha
Dekat kepada makhluk-Nya. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya dan Maha
Memperkenankan doa.
Huud Ayat 62
(#qä9$s% ßxÎ=»|Á»t ôs% |MYä. $uZÏù #vqã_ötB @ö6s% !#x»yd ( !$uZ9yg÷Ys?r& br& yç7÷è¯R $tB ßç7÷èt $tRät!$t/#uä $uZ¯RÎ)ur Å"s9 7e7x© $£JÏiB !$tRqããôs? Ïmøs9Î) 5=ÍßD ÇÏËÈ
Artinya: “Kaum Tsamud berkata: "Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah
seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk
menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami ? dan sesungguhnya kami
betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan
kepada kami."”
· قالواياصالح
قدكنت فينا مرجواقبل هذا(qaalu yaa shaAlihu qad kunta fiina marjuwwan qabla haa-dzaa).
Kamu (Shaleh) adAlah orang yang kami harapkan dapat menyelesaikan urusan-urusan
kami yang penting. Kamu adalah seorang yang berakal kuat, berpikiran cerdas, dan
karena kau keturunan tinggi. Sekarang telah putus harapan kami padamu.
· اتنهىنا ان
نعبد ما يعبد ءاباءنا(A tanhaanaa an na’buda maa ya’budu aabaa-unaa).
Sungguh mengherankan kamu mencegah kami menyembah apa yang telah disembah
oleh orang-orang tua kami dahulu. Kami hanya mengikuti langkah mereka.
· واما لفى شك
مما تدعونا اليه مريب(Wa innanaa lafii syakkim mim maa tad’uunaa ilaihi
muriib).
Sungguh kami ragu-ragu dan curiga terhadap apa yang kau seru.
Huud Ayat 63
tA$s% ÉQöqs)»t óOçF÷uäur& bÎ) àMZà2 4n?tã 7poYÉit/ `ÏiB În1§ ÓÍ_8s?#uäur çm÷ZÏB ZptHôqy `yJsù ÎTãÝÁZt ÆÏB «!$# ÷bÎ) ¼çmçFø|Átã ( $yJsù ÓÍ_tRrßÌs? uöxî 9Å¡ørB ÇÏÌÈ
Artinya: “Shaleh berkata: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai
bukti yang nyata dari Tuhanku dan diberi-Nya aku rahmat (kenabian) dari-Nya, maka
siapakah yang akan menolong aku dari (azab) Allah jika aku mendurhakai-Nya. Sebab
itu kamu tidak menambah apapun kepadaku selain daripada kerugian.”
· قال يا قوم ارءيتم ان كنت على بينة من رب
وءاتىنى منه رحمة(Qaala yaa qaumi a ra-aitum in kuntu ‘alaa bayyinatim
mir rabbi wa aataanii minhu rahmatan)
Jelaskan padaku apa yang harus aku lakukan, wahai kaumku, jika aku benar-benar
mempunyai hujjah dari Tuhanku bahwa apa yang aku dakwahkan kepadamu Alah benar-benar
dari Allah. Dan Allah memang telah memberikan suatu rahmat yang istimewa
kepadaku, yakni Dia jadikan aku seorang nabi yang diutus kepadamu
· فمن ينصرنى من
الله ان عصيته(Fa may yan- shurunii minallahi in ‘a-shaituhuu).
Siapakah yang menghindarkan aku dari azab Allah, jika aku menyembunyikan wahyu-Nya
atau aku menyembunyikan sesuatu yang tidak menyenangkan hatimu. Tak ada orang yang
menolak azab dari aku. Oleh karenanya, aku tidak memedulikan tindakan-tindakanmu.
· فماتزيدوننى
غير تخسير (Fa maa taziiduunanii ghairu takh-siir).
Jika kamu tidak menambah sesuatu kepadaku jika kau memenuhi harapanmu dan
jika aku takut kepada berburuk sangka, selain kau menjatuhkan aku ke dalam kebinasaan.[8]
III. ANALISIS
Pada surat At-Tin:4-5 ini dijelaskan betapa perhatiannya Allah dalam
menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya, susunan yang sebaik-baiknya,
dan keseimbangan yang sebaik-baiknya. Perhatian ini tampak di dalam penciptaannya
dan susunan tubuhnya yang bernilai dibandingkan dengan makhluk yang lainnya, baik
dalam susunan fisiknya yang sangat cermat dan rumit, susunan akalnya yang unik,
maupun susunan ruhnya yang menakjubkan. Meskipun pada diri manusia juga terdapat
kelemahan dan adakalanya penyimpangan dari fitrahnya, hal ini menunjukkan bahwa
urusan tersendiri dengan Allah.
Akan tetapi, manusia juga berpotensi untuk mencapai derajat terendah
yang tidak ada makhluk lain mencapai derajat serendah itu (bahkan binatang sekalipun).
Hal ini terjadi pada manusia yang mengingkari Tuhannya dan menuruti hawa nafsunya,
sehingga ia jatuh ke lembah kehinaan terendah yang binatang pun tidak sampai jatuh
pada kerendahan tersebut.
Dalam surat Asy-Syams ayat 8-10 menjelaskan mengenai hakikat yang
sangat besar tentang jiwa manusia dan tabiatnya yang berkaitan dengan alam
semesta, pemandangan-pemandangannya, dan fenomena-fenomenanya. Manusia
merupakan makhluk yang memiliki tabiat, potensi, dan arah yang kompleks. Dengan
demikian, ia dibekali dengan potensi-potensi yang sama untuk berbuat baik atau
buruk, mengikuti petunjuk atau kesesatan, dan sebagainya.
Keberadaan manusia di muka bumi ini bukanlah ada dengan sendirinya. Manusia
diciptakan oleh Allah, dengan dibekali potensi dan infrastruktur yang sangat
unik. Keunikan dan kesempurnaan bentuk manusia ini bukan saja dilihat dari
bentuknya, akan tetapi juga dari karakter dan sifat yang dimiliki oleh manusia.
Sebagai ciptaan, manusia dituntut memiliki kesadaran terhadap posisi dan
kedudukan dirinya di hadapan Tuhan. Dalam konteks ini, posisi manusia di hadapan
Tuhan adalah bagaikan “hamba” dengan “majikan” atau “abdi” dengan “raja”, yang
harus menunjukkan sifat pengabdian dan kepatuhan.
Sebagai agama yang haq, Islam menegaskan bahwa posisi manusia di dunia
ini adalah sebagai ‘abdullah (hamba Allah). Posisi ini menunjukkan bahwa salah satu
tujuan hidup manusia di dunia adalah untuk mengabdi atau beribadah kepada Allah.
Yang dimaksud dengan mengabdi kepada Allah adalah taat dan patuh terhadap
seluruh perintah Allah, dengan cara menjalankan seluruh perintah-perintah-Nya dan
menjauhi seluruh larangan-Nya dalam segala aspek kehidupan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik benang merah, bahwa menurut Al-Quran
manusia setidaknya memiliki 3 tujuan dalam hidupnya. Ketiga tujuan tersebut adalah;
pertama, menyembah kepada Allah SWT. (beriman). Kedua, memakmurkan Alam semesta
untuk kemaslahatan (beramal) dan Ketiga, membentuk sejarah dan peradabannya yang
bermartabat (berilmu). Dengan kata lain, menurut Al-Quran, tugas atau tujuan
pokok hidup manusia di muka bumi ini sebenarnya sangatlah sederhana, yakni menjadi
manusia yang “beriman”, “beramal” dan “berilmu”. Keterpaduan ketiga tujuan
hidup manusia inilah yang menjadikan manusia memiliki eksistensi dan kedudukan
yang berbeda dari makhluk Allah lainnya.
IV. PENUTUP
Demikianlah makalah
yang dapat kami sampaikan yaitu Ayat-ayat tentang Manusia. Tiada gading yang tak
retak, kami pun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini belumlah sempurna
bahkan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
konstruktif sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bisa menjadi lebih baik dan
bermanfaat bagi kita semua, Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad
Mushtafa, Tafsir Al-Maraghi, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992.
Al-Qarni, ‘Aidh,
Tafsir Muyassar, Jakarta Timur: Qisthi Press, 2008.
Departemen Agama, Al-Quran dan terjemahannya, Bandung: CV. Penerbit AJ-ART, 2004.
Isawi, Muhammad
Ahmad, Tafsir Ibnu Mas’ud, Jakarta selatan: Pustaka Azzam, 2009.
Syihab, M. Quraish,
Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2007.
[1] Dalam suatu
riwayat dikemukakan bahwa firman Al-lah S.95:5 mengandung arti ke tingkat pikun
(seperti bayi lagi). Oleh karena itu Rasulullah saw. ditanya tentang
(kedudukan) orang yang telah pikun itu. Maka Allah menurunkan ayat selanjutnya
(S.95:6) yang menegaskan bahwa mereka yang beriman dan beramal shalih sebelum
pikun akan mendapat pahala yang tidak putus-putusnya.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Al--'ufi yang bersumber dari Ibnu Abbas.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Al--'ufi yang bersumber dari Ibnu Abbas.
[2]
Departemen Agama, Al--Quran dan
terjemahannya, (Bandung: CV. Penerbit AJ-ART, 2004).
[3] M. Quraish Syihab, Tafsir Al--Mishbah,
(Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet X, hAl-. 377-382.
[4].Sayyid
Quthb. Tafsir Fi zhilalil qur’an.
(Jakarta: Gema Insani. 2001). Hal. 281-282
[5] Departemen Agama, Al-Quran dan terjemahannya, (Bandung: CV. Penerbit AJ-ART, 2004).
[6] Muhammad Ahmad Isawi, Tafsir Ibnu Mas’ud,
(Jakarta selatan: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, Hal. 181.
[7]
Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha
Putra, 1992), Cet. II, Hal. 130-131.
[8] ‘Aidh Al-Qarni, Tafsir Muyassar,
(Jakarta Timur: Qisthi Press, 2008), Cet. I, Hal. 253.
mantab nih gan..............
BalasHapusterus semangat dalam berbagi ilmunya...
gambate..!!!
mampir juGa ya gan di pondok ilmu ane nech alamat nye (nandhadhyzilianz.blogspot.com)
supaya kita bisa tukar-tukar pikiran dan berbagi pengalaman.
Alhamdulillah...
BalasHapus